19 Maret 2023

CERPEN : Penggali Sumur yang Ingin Pensiun


Dari daun jendela yang terbuka, aku melihat Om Banus berdiri sendirian di sumur. Kedua lengannya yang kekar menekan bibir sumur. Kepalanya ditundukkan seperti sedang melihat sesuatu dalam sumur yang memikat matanya. Dalam bentangan jarak itu, aku melihat ia tercenung tanpa peduli angin sore yang menyapu-nyapu rambut ikalnya.

Kami mengenalnya sebagai lelaki penggali sumur. Ibu pernah bercerita bahwa sumur di tengah kampung kami adalah sumur pertama yang digali Om Banus. Ia tergerak menggali sumur karena orang-orang kampung hanya menaruh harapan dari curah hujan. Om Banus berhasil menggali sumur itu dengan kedalaman mencapai 16 meter. Warga membantu Om Banus membuatkan dinding sumur dengan batu bata.

Keberadaan sumur yang terbuka menghadap langit itu tidak hanya memperpanjang hidup kami di musim kemarau, tetapi menumbuhkan cinta, persaudaraan, keakraban, dan kebersamaan warga di kampung kami. Di sumur itu, kami menunggu giliran sambil bercerita, melepas penat kerja seharian, dan bergurau dalam suasana penuh keakraban. Siapa pun yang datang ke sumur itu pasti menemukan cinta yang bahagia dan menyaksikan persatuan himpunan manusia yang tak membedakan suku, agama, dan ras di kolong langit ini.

Ketika jumlah penduduk bertambah, kampung kami dibagi menjadi empat dusun. Warga dibagi merata ke dalam empat dusun itu. Om Banus diminta menggali lagi tiga sumur. Satu untuk dusun satu, satu untuk dusun tiga, dan satu untuk dusun empat. Sumur pertama ada di dusun dua, di tengah-tengah kampung. Semua itu berlangsung dalam keputusan bersama di bawah pimpinan kepala desa.

Kini, warga mulai menimba air sumur di dusunnya masing-masing. Tetap ada kegembiraan, kebersamaan, dan cinta. Tapi, tidak lagi dalam jumlah banyak. Belakangan, beberapa warga merasa perlu memiliki sumur di pekarangan rumah mereka sendiri. Alhasil, mereka mendatangi dan meminta Om Banus menggali sumur bagi mereka. Lelaki itu telah menggali empat sumur lagi untuk memenuhi permintaan warga. Sejak itu, suasana di setiap sumur berubah total. Orang-orang mulai berkurang.

Tidak ada lagi gelak tawa warga atas ulah Om Lamber yang kerap melawak sambil menunggu giliran. Tidak terdengar lagi kemarahan Om Tonis yang mengundang tawa, Nenek Maria bersama anjing jantan yang selalu mengikutinya. Tante Vero yang selalu membawa ember berukuran lebih besar dari tubuhnya. Nyanyian orang tua dan orang muda dari gambus yang dipetik Om Leo, dan tiada lagi teriakan anak-anak kecil yang berlarian serta kejar-kejaran menunggu ibu dan bapak mereka menimba air. Kegembiraan-kegembiraan yang pernah tercipta itu bergantung bagai embun lalu menghilang seperti tak memiliki masa lalu.

Om Banus masih berdiri tercenung di sumur itu. Aku tergerak untuk menemuinya. Kudapati ember dan bergegas ke sumur. Ada bersama Om Banus adalah suatu kebahagian bagiku. Apalagi mendengar ia bercerita tentang perjuangannya menggali sumur. Itu selalu menyenangkan hatiku. Entah kenapa tapi kurasa itu suatu perjuangan yang mengagungkan di muka bumi ini.

Terakhir kali aku bercerita dengan Om Banus ketika aku bersama kedua temanku, Kedaman dan Olak, menyaksikan dirinya menggali sumur Om Rino. Kebetulan rumah Om Rino cukup dekat dengan sekolah kami sehingga kami menyambangi Om Banus sepulang sekolah.

”Om Banus, sudah dapat airnya?” Kedaman bertanya sambil melongok ke dalam sumur yang sedang digali itu.

”Belum, Kedaman. Sesekali kamu bantu Om gali sumur, ya Nak,” Om Banus memberitahukan bernada gurau.

Sesudah itu, ia mengingatkan Kedaman berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam sumur itu. Ia menyulut sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Aku melihat urat-urat tangannya menyembul-nyembul bagai kabel-kabel listrik di rumahku. Tubuh itu kokoh kuat dilengkapi lengan yang hitam terbakar sinar matahari. Melihatnya aku selalu teringat sosok Bapakku yang kini bekerja di tanah Malaysia. Tubuh dan kulitnya mirip Bapakku.

”Mengapa Om Banus tidak ke Malaysia saja? Biar jadi sopir seperti Bapakku. Gali sumur ini cape, Om,” kataku sambil melihat ia mengepulkan asap rokoknya yang menggelung-gelung ke udara. Rokok itu begitu kecil di tangannya. Bahkan, batangan rokok itu tidak menyamai jari-jarinya yang hitam.

”Ah, kamu ini. Senangnya ke Malaysia saja. Di sana, kerjanya lebih berat. Jadi, jangan pernah berniat pergi ke Malaysia. Kerja di sini saja,” timpal Om Banus sambil mengusap-usap rambutku. Ia begitu dekat dengan kami anak-anak, sehingga kami selalu membantu memikul alat-alat kerjanya kalau pulang kerja.

”Kenapa Om Banus ingin jadi penggali sumur?” Giliran Olak, lelaki yang suka mencari tahu itu bertanya. Om Banus mengisap rokoknya sekali lagi dan kami diam menanti jawabannya. Aku dan Olak duduk bersama Om Banus di atas bale-bale bambu. Aku di sebelah kanannya, Olak berhadapan langsung dengan Om Banus, dan Kedaman berdiri di dekat lubang sumur dengan tubuh sepenuhnya kepada kami.

Setelah mengepulkan asap ke udara, ia berkata pelan, ”Om ingin orang-orang di kampung ini bisa hidup. Karena, air adalah sumber hidup kita, anak-anakku.” Ia membuang batang rokok yang telah menjadi puntung di tangannya. Wajahnya menengadah ke atas membayang sesuatu.

”Di sumur,” lanjut Om Banus, ”Kita akan menimba kehidupan, anak-anakku. Kita akan bercerita, belajar sabar, dan dikuatkan oleh persatuan, Nak. Di sumur, kita menemukan diri kita bukan lagi satu, tapi menjelma persekutuan yang kuat, sebagaimana satu tetes air yang jatuh dari bibir sumur dan menjadi banyak di dasar sana, anak-anakku. Itu sebabnya, Om ingin jadi penggali sumur.” Aku melirik kepada Olak dan menemukan dirinya telah cukup puas. Saat kuarahkan pandangan kepada Kedaman, mata kami bertumbukan dan aku melihat Kedaman mengangguk-angguk.

”Tapi, kalau semakin banyak sumur, maka orangnya tidak akan ramai lagi, Om.”

Aku berkata begitu saja sambil menekan-nekan lengan kanan Om Banus. Ia melihatku lalu mengacak-acak rambutku dengan tangan kirinya. Bibirnya tersenyum, wajahnya merekah seperti bunga pagi hari. Raut wajah yang pernah merekah itu tak kutemukan ketika aku menjumpai dirinya di sumur, sore ini.

”Om Banus, kenapa murung?” Aku mengagetkan lamunannya. Ia menoleh dan mendapatiku sedang meletakkan emberku di lantai sumur itu. Mataku tetap mandang Om Banus yang sedih.

”Eh, Goran.” Suaranya pelan dan sendu. Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Aku mendekati dan berdiri di samping kanannya. Aku melongok ke dalam sumur, barangkali ada sesuatu di dalam sana yang membuat Om Banus bersedih. Tapi, tidak kutemukan apa-apa. Air di dasar sumur begitu tenang, dua timba dari jeriken putih pudar pun terggantung hening. Sepi. Sunyi.

”Tidak seramai dulu lagi, Nak. Semua orang sudah bisa mendapatkan air dari sumur di rumahnya masing-masing. Mesin-mesin telah menggantikan tenaga manusia, Nak.” Kalimat ini seperti sebuah penyesalan. Dan, aku paham bahwa Om Banus merasa bersalah telah menggali sumur-sumur bagi warga. Ia menyesal telah menjadikan sumur pertama ini tidak seramai dulu.

”Tidak ada lagi nyanyian rayuan orang muda dari gambus Om Leo, kelucuan Om Lamber, kemarahan Om Tonis yang mengundang tawa, dan kegirangan anak-anak yang berlarian di lorong-lorong saat menunggu orang tuanya menimba air.”

Rupanya Om Banus juga menghafal tingkah laku warga kampung kami. Aku menutup mata dan membayang semua kenangan-kenangan itu. Semuanya melekat erat di kepalaku. Saat kubuka mata, aku menemukan dasar sumur di hadapanku semakin gelap. Sementara Om Banus tengah mengumpulkan kenangan.

”Kalau boleh meminta, maka aku ingin kebersamaan kita kembali sebagaimana dulu lagi, Nak.” Ia terdiam. Begitu pun aku. Mata kami tetap tertuju kepada dasar sumur yang sama. Aku yakin, ada kerinduan yang sama di benaknya dan benakku di detik ini. Angin sore musim kemarau berhembus-hembus. Sumur ini semakin hening di hadapan dua lelaki yang mencintai kerinduan yang sama. Sebuah kerinduan akan kebersamaan yang semakin tergerus dalam pusaran waktu.

Dari dasar sumur, kenangan-kenangan itu menjelma bayangan-bayangan tiap orang yang pernah ada di sumur ini. Semuanya serasa berlarian di mukaku, tapi tiada kenyataan sesungguhnya, kini. Orang-orang telah menggunakan caranya mendapatkan air. Sebelum matahari benar-benar terbenam, bunyi mesin pompa air di beberapa rumah bersahut-sahutan. Samar-samar, telingaku menangkap ucapan Om Banus, ”Aku ingin pensiun.”

_______________________

Selo Lamatapo, lahir di Lembata, Nusa Tenggara Timur, 31 Juli 1992. Ia menulis cerpen dan puisi. Karya cerpen dan puisinya tersiar di media cetak dan daring.

Sumber Berita : Kompas.com



Kegiatan : Membaca estetis teks prosa

Setelah membaca cerpen berjudul “Penggali Sumur yang Ingin Pensiun”, jawab pertanyaan berikut:

1) Bagaimana pemahaman atau persepsi kalian terhadap peristiwa yang terdapat pada dua paragraf terakhir?

2) Apakah kalian merasakan suatu nuansa khusus dalam batin, ketika cerpen ini kalian baca secara menyeluruh? Jika ya, kemukakanlah perasaan tersebut dalam bentuk interpretasi pribadi tentang amanat cerpen ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda mengisi komentar jika mendapat manfaat dari uraian di atas. Hindari SARA dan junjung tinggi etika kesopanan... No SPAM...!!! Terima kasih...